Naskah Kurikulum
Naskah Kurikulum
Menurut undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 pasal 36 menyebutkan bahwa (1) Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) Kurikulum pada semua jenjang dan
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, (3) Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan: peningkatan iman dan takwa,
peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan
nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan, (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Kurikulum
sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena
seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya
kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya
memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian
secara mendalam. Pada dasarnya kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri
dari beberapa komponen. Setiap komponen yang menyusun kurikulum saling
berhubungan satu sama lain, sehingga dalam proses pengembangan kurikulum harus
memperoleh perhatian yang sama besarnya. Komponen-komponen tersebut yaitu
komponen tujuan, isi, strategi atau metode, serta komponen evaluasi. Proses
pengembangan kurikulum memang merupakan sesuatu yang kompleks, karena tidak
hanya menuntut penguasaan kemampuan secara teknis, akan tetapi lebih dari itu
para pengembang kurikulum harus mampu mengantisipasi berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
Bagan
tersebut menggambarkan bahwa sistem kurikulum terbentuk oleh empat komponen.
Sebagai suatu sistem, setiap komponen harus saling berkaitan satu sama lain.
Manakala salah satu komponen yang membentuk sistem kurikulum terganggu atau
tidak berkaitan dengan komponen lainnya, maka sistem kurikulum secara
keseluruhan juga akan tergganggu.
Lebih
lanjut, S. Nasution (1987: 222) menyatakan bahwa dalam praktik, biasanya semua
komponen kurikulum tersebut dipertimbangkan tanpa urutan yang pasti, misalnya
ada yang menganjurkan agar segera setelah dirumuskan tujuan disusun alat
evaluasinya, kemudian bahan dan proses pembelajaran atau ada pula yang memulai
dengan melihat bahan yang akan dipelajari dengan berpedoman pada buku sumber,
sesudah itu baru ditentukan tujuan yang akan dicapai berdasarkan bahan
tersebut, akhirnya dipikirkan proses pembelajarannya dan cara penilaiannya.
Jadi, dalam proses, tampak ada upaya untuk penyempurnaan dan perpaduan antar
setiap komponen.
1. Tujuan Kurikulum
Tujuan
berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro, rumusan
tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut
masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan yang menggambarkan suatu masyarakat yang di
cita-citakan, misalkan, filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat
Indonesia adalah pancasila, maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu
kurikulum adalah terbentuknya masyarakat yang pancasilais. Dalam skala mikro,
tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan visi sekolah serta tujuan yang
lebih sempit, seperti tujuan setiap mata pelajaran dan tujuan proses
pembelajaran. Untuk memahami tujuan pendidikan John Dewey (1916) membandingkan
antara hasil pendidikan dan tujuan pendidikan.
Menurut Ki
Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah penguasaan diri, sebab disinilah
pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah
yang dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika
peserta didik mampu menguasai dirinya, maka mereka akan mampu untuk menentukan
sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Beliau
juga menunjukkan bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah membantu
peserta didik menjadi manusia yang merdeka. Menjadi manusia yang merdeka
berarti tidak hidup terperintah, berdiri tegak dengan kekuatan sendiri, dan
cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Dengan kata lain, pendidikan menjadikan
seseorang mudah diatur, tetapi tidak dapat disetir.
Tujuan
selalu berkaitan dengan hasil, tetapi tujuan lebih merupakan kegiatan yang
mengandung proses.tujuan menampilkan aktivitas yang teratur dan pada akhirnya
tujuan akan berdampak pada hasil.
Karakteristik tujuan pendidikan yang baik menurut
Dewey (1916) :
1)
Tujuan pendidikan harus berupa kegiatan dan kebutuhan
intrinsik
2)
Tujuan pendidikan harus bias di capai, untuk itu tujuan
harus bersifat fleksibel danmengndung pengalaman belajar
3)
Tujuan pndidikan harus merepresentasikan kegiatan.
Tujuan
kurikulum di bagi menjadi empat yaitu: Pertama,
Tujuan Pendidikan Nasional (TPN), Kedua,
Tujuan Institutional (TI), Ketiga,
Tujuan Kurikuler (TK), Keempat,
Tujuan Pembelajaran atau Instruksional (TP). Pengembangan tujuan kurikulum
merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam proses pengembangan kurikulum,
sebab tujuan erat kaitannya dengan arah dan sasaran yang harus dicapai oleh
setiap upaya pendidikan. Melalui tujuan yang jelas, maka dapat membantu para
pengembang kurikulum dalam mendesain model kurikulum yang dapat digunakan,
serta sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan kualitas pembelajaran.
Bentuk perilaku sebagai tujuan yang harus di rumuskan dapat di golongkan ke
dalam 3 klasifikasi atau 3 domain (bidang) yaitu domain kognitif, efektif.
Psikomotor.
Menurut
undang-undang Republik Indonesia Pasal 3, Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sebagai
implikasi bagi penyelenggara pendidikan, baik formal maupun nonformal, dalam melaksanakan,
membina dan mengembangkan program pendidikan, maka nilai-nilai yang terkandung
dalam rumusan Tujuan Pendidikan Nasional tersebut harus menjadi acuan yang
mendasardalam mewujudkan praktik pendidikan, sehingga menghasilkan peserta
didik yang beriman dan bertakwa, berilmu dan beramal dalam situasi yang
kondusif.
2. Isi atau Bahan Materi Kurikulum
Isi kurikulum berkenaan dengan
pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar yang harus diberikan kepada siswa
untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Dalam menentukan isi kurikulum baik
yang berkenaan dengan pengetahuan ilmiah maupun pengalaman belajar disesuaikan
dengan tingkat dan jenjang pendidikan, perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat menyangkut tuntutan dan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Gall (1981) mendefinisikan bahan
kurikulum sebagai: Curriculum materials are physical entities, representational
in nature, used to facilitate the learning process.jadi, menurut Gall bahan
kurikulum adalah sesuatu yang mempunyai sifat fisik, sifat mewakili dan
dipergunakan untuk mempermudah proses belajar.
Entity fisek (physical entities)
adalah bahan kurikulum itu merupakan objek yang dapat diobservasi, bukan hanya
berupa ide-ide atau konsep. Dengan demikian, tujuan pengajaran tidak termasuk
bahan kurikulum karena ia tak dapat dilihat. Buku-buku teks dan lain-lain yang
sejenis yang merupakan media cetak, film, program rekama, dan lain-lain adalah
contoh-contoh bahan kurikulum yang dapat diobservasi.
Bahan pembelajaran dalam penyajiannya
berupa deskripsi yakni berisi tentang fakta-fakta dan prinsip-prinsip, norma
yakni berkaitan dengan aturan, nilai dan sikap, serta seperangkat
tindakan/keterampilan motorik. Dengan demikian, bahan pembelajaran pada
dasarnya berisi tentang pengetahuan, nilai, sikap, tindakan dan keterampilan
yang berisi pesan, informasi, dan ilustrasi berupa fakta, konsep, prinsip, dan
proses yang terkait dengan pokok bahasan tertentu yang diarahkan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Dilihat dari aspek fungsi, bahan pembelajaran dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan
secara langsung dan sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan secara tidak
langsung. Sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan langsung, bahan pembelajaran
merupakan bahan ajar utama yang menjadi rujukan wajib dalam pembelajaran.
Contohnya adalah buku teks, modul, handout, dan bahan-bahan panduan utama
lainnya. Bahan pembelajaran dikembangkan mengacu pada kurikulum yang berlaku,
khususnya yang terkait dengan tujuan dan materi kurikulum seperti kompetensi,
standar materi dan indikator pencapaian.
Suatu bahan pembelajaran yang baik memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri yang
melekat pada bahan ajar yang disajikan (disusun) merupakan ciri khas yang
membedakan antara bahan pembelajaran yang baik dengan bahan pembelajaran yang
tidak baik. Bahan pembelajaran yang baik memenuhi syarat substansial dan
penyajian sebagai berikut:
- Secara substansial bahan pembelajaran harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Sesuai dengan visi dan misi sekolah
Visi merupakan wawasan jauh ke depan yang menunjukkan arah bagi pencapaian
tujuan. Sedangkan misi merupakan gambaran tentang apa yang seharusnya dilakukan
oleh lembaga, dalam hal ini sekolah/madrasah. Visi dan misi sekolah dalam
pencapaiannya diwujudkan melalui proses pembelajaran, sedangkan proses
pembelajaran dibanguna diantaranya karena adanya bahan pembelajaran. Oleh
karena itu bahan pembelajaran yang disusun harus sesuai dengan visi, misi,
karena bahan pembelajaran itu sendiri merupakan sarana materi yang akan
disampaikan pada siswa dalam upaya mencapai visi dan misi sekolah.
2) Sesuai dengan kurikulum
Kurikulum yang dimaksud adalah seperangkat program yang harus ditempuh
siswa dalam penyelesaian pendidikannya. Paling tidak, secara sempit kurikulum
meliputi aspek tujuan/kompetensi, indikator hasil materi, metoda dan penilaian
yang digunakan dalam proses pembelajaran. Bahan ajar, dalam hal ini merupakan
pengembangan materi pembelajaran hendaknya senantiasa sesuai dengan
tujuan/kompetensi, materi dan indikator keberhasilan.
3) Menganut azas ilmiah
Ilmiah yang dimaksud adalah bahan ajar tersebt disusun dan disajikan secara
sistematis (terurai dengan baik) metodologis (sesuai dengan kaidah-kaidah
penulisan).
4) Sesuai dengan kebutuhan siswa
Bahan ajar merupakan hal yang harus dicerna dan dikuasai siswa. Dengan
demikian bahan ajar disusun semata-mata untuk kepentingan siswa. Oleh karena
itu, maka bahan ajar yang disusun hendaknya sesuai dengan kebutuhan siswa,
yaitu sesuai dengan tingkat berpikir, minat, latar sosial budaya dimana siswa
itu berada.
- Memenuhi kriteria penyajian, yang meliputi:
1)
Memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi
Bahan pembelajaran yang disusun hendaknya memiliki derajat keterbacaan yang
tinggi, dalam arti bahasa yang disajikan menggunakan struktur kalimat dan kosa
kata yang baik, bentuk kalimat sesuai tata bahasa, dan isi pesan yang
disampaikan melalui huruf, gambar, photo dan ilustrasi lainnya memiliki
kebermaknaan yang tinggi.
2)
Penyajian format dan fisik bahan pembelajaran yang
menarik
Format dan fisik bahan pembelajaran juga harus diperhatikan. Format dan
fisik buku ini berkaitan dengan tata letak (layout), penggunaan model dan
ukuran huruf, warna, gambar komposisi, kualitas dan ukuran kertas, penjilidan,
dsb. Format dan fisik bahan ajar sebenarnya merupakan tanggung jawab penerbit
(bila bahan ajar tersebut diterbitkan), tetapi sebaiknya penulis memiliki
gagasan bagaimana format dan fisik bahan ajar yang diinginkan.
Pengembangan bahan kurikulum merupakan salah
satu bagian dari pengembangan kurikulum secara keseluruhan. Adanya penggantian
kurikulum yang berlaku biasanya juga dimaksudkan untuk memajukan sekolah. Usaha
memajukan sekolah itu sendiri antara lain juga ditempuh melalui strategi
memasukkan bahan-bahan pengajaran yang baru kedalam program sekolah yang
bersangkutan. Bahan pengajaran yang dimaksud harus lebih dahulu diseleksi dan
disesuaikan dengan tujuan pengajaran di sekolah itu secara
keseluruhan.Kurikulum yang dapat dilihat sebagai semua perencanaan pendidikan
yang akan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan, menunjukkan bahwa hal
itu berkaitan dengan maksud utama pengembangan kurikulum, yaitu
mengidentifikasi tujuan-tujuan yang lebih luas dan yang lebih khusus pengajaran
yang harus diusahakan pencapaiannya.
Perumusan tujuan kurikulum pada umumnya
didasarkan pada konsep-konsep sifat belajar, pelajar, dan masyarakat. Mc. Neil
(1977) mengemukakan adanya empat perbedaan konsep yang mempengaruhi
perkembangan kurikulum dewasa ini, yaitu pandangan humanis, rekonstruksi sosial,
teknologi instruksional, dan disiplin akademik.
Kurikulum yang dikembangkan atas dasar pandangan
hamanis misalnya, cenderung merumuskan tujuan pendidikan dengan menekankan pada
kebutuhan individual demi pertumbuhan dan integritas personal. Tujuan pengembangan
kurikulum yang lain adalah untuk mengurutkan tujuan-tujuan pengajaran secara
sistematis logis sehingga siswa dapat mengembangkan keterampilan dan
pengetahuannya secara saling berhubungan sepanjang tahun. Aspek pengembangan
kurikulum jenis ini biasanya menghasilkan spoke (cangkupan, luas) dan urutan,
struktur, pengembangan urutan, atau organisasi urutan yang lain.Tujuan dan
urutan kurikulum yang di khususkan, dimaksudkan untuk memudahkan
pelaksanaannya. Dalam titik ini, penyelesaian behan kurikulum yang layak harus
sudah dilibatkan (Gall). Dengan demikian ada keterpaduan antara
komponen-komponen yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut.
Penyelesaian kurikulum baik oleh tim
pengembangan kurikulum maupun oleh guru secara individual, harus secara cermat
dilihat dari segi relevansinya dengan kurikulum yang dikembangkan. Hal itu
dapat ditempuh melalui proses pengambilan, penganalisisan, dan penilaian bahan.
Jika bahan diseleksi lepas dari hubungannya yang lebih besar, ia akan
menghasilkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan program pengajaran, dan
hal itu berarti menghilangkan kemungkinan siswa untuk menghubungkannya dengan
hal-hal yang lain.
Proses adopsi bahan kurikulum memuncak pada
keputusan untuk memilih atau merekomendasikan tentang penyeleksian terhadap
seperangkat bahan yang khusus. Proses adopsi bahan itu dapat bervariasi
tergantung pada 1)siapa yang membuat keputusan adopsi, 2) siapa yang akan
menerima keputusan itu, dan 3) sifat adopsi itu sendiri.(Gall).
Sifat keputusan adopsi juga mempengaruhi proses
penyeleksian yang dipergunakan, dan untuk itu paling tidak terdapat tiga
keputusan adopsi.
a)
Keputusan bisa berupa
pemilihan suatu produk dari sejumlah produk kurikulum. Keputusan jenis ini biasanya dibuat oleh
tim penyeleksi.
b)
Keputusan bisa berupa
pemilihan suatu produk kurikulum dengan mempertimbangkan kebaikan-kebaikan yang
ada tanpa membandingkannya dengan produk yang lain. Keputusan jenis ini boleh
dilakukan oleh seorang guru yang menjumpai suatu produk yang baru dan kemudian
ingin memanfaatkannya untuk pengajaran tambahan.
c)
Keputusan ini bisa berupa
pembuatan daftar bahan kurikulum yang disetujui. Semua bahan yang sesuai dengan
kriteria tertentu dapat dipilih untuk mengisi daftar itu. Hal itu berarti bahwa
lebih dari satu produk yang dapat dipilih oleh tim penyeleksi.
Proses penyeleksian bahan kurikulum yang
bersifat formal terdiri dari sejumlah tahap. Gall mengemukakan ada sembilan
tahap yang harus dilalui yaitu:
1. identifikasi
kebutuhan,
2. merumuskan
misi kurikulum (Spesialis media),
3. menentukan
anggaran pembiayaan,
4. membentuk
tim penyeleksi,
5. mendapatkan
susunan bahan,
6. menganalisis
bahan,
7. menilai
bahan,
8. membuat
keputusan adopsi,
9. menyebarkan,
mempergunakan, dan memonitor penggunaan.
Pembicaraan berikut tidak akan mencangkup ke-9
tahap tersebut, melainkan ada beberapa tahap yang sengaja ditinggalkan.
1. Identifikasi
Kebutuhan (Identify Your Needs)
Para ahli mengidentifikasi kebutuhan (needs)
sebagai ketidak sesuaian antara apa yang menjadi kenyataan dan apa yang menjadi
keinginan. Yang pertama bisa menunjuk pada kurangnya keseluruhan bahan untuk
mencapai tujuan pengajaran. Sebaliknya, yang kedua mengacu kepada pengertian
penyeleksian bahan yang memungkinkan siswa untuk dapat mencapai tujuan
pengajaran.
Pemilihan yang dilakukan oleh tim penyeleksi
biasanya dilakukan dengan mendaftar bahan pengajaran yang dipergunakan yang
dirasa kurang memadai, dan menilai dan menyeleksi bahan baru yang diperoleh
melalui penelitian. Karakteristik bahan baru yang diinginkan harus mencerminkan
tujuan (goals) dan pandangan hidup, tingkat sekolah, tingkat bacaan, skope,
serta sekuen kurikulum.
2. Mendapatkan Bahan Kurikulum
(Access to Curiculum Materials)
Proses pencarian bahan kurikulum sering tidak
terencana dan sering bersifat kesewaktuan. Para pendidik biasanya menyadari
persediaannya bahan-bahan itu melalui percakapan dengan kawan sejawat, jurnal,
profesional, seminar, penetaran, dan sebagainya. Akan tetapi, para pendidik
sering kurang menanggapi secara sungguh-sungguh karena meresa sulit untuk
mendapatkan bahan itu atau karena kurangnya informasi bagaimana cara untuk
memperolehnya.
3. Analisis Bahan (Analyze the
Meterials)
Analisis merupakan proses memisah-misahkan suatu
keseluruhan material kedalam bagian-bagian atau komponen-komponen, dan kemudian
menguji tiap begian itu serta bagaimana kaitannya antara satu denga yang lain.
3. Strategi Pembelajaran
Menurut T. Rakjoni strategi pembelajaran merupakan pola dan urutan umum
perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan.
Dari dua pengertian diatas ada dua hal yang pelu diamati, yaitu: Pertama,
strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian tindakan) termasuk
penggunaan metode dan pemanfaatan sebagai sumber daya/kekuatan dalam
pembelajaran. Alasan-alasan perlunya perencanaan strategi mengajar:Agar
kurikulum yang direncanakan dapat mencapai tujuan,
agar pelajaran yang sama yang
diberikan oleh pendidik dilakukan secara konsistensehingga tidak merugikan
kelas tertentu, membantu guru memberi pelajaran
yang efektif serta menarik dengan menyediakansumber belajar yang memadahi.Kedua,
strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Metode adalah upaya untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan
yang telah disusun tercapai secara optimal.
Metode juga digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.
Dalam satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Strategi berbeda
dengan metode. Strategi menunjuk pada a
plan of operation achieving something, sedangkan metode adalah a way in achieving something. Istilah
lain yang juga memiliki kemiripan dengan strategi adalah pendekatan ( approach ). Sebenarnya pendekatan
berbeda dengan strategi maupun metode. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik
tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Roy Killer (1998), ada
dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu:
·
Pendekatan
yang berpusat pada guru ( teacher
centered approaches )
·
Pendekatan
yang berpusat pada siswa ( student
centered approach ) Rowntree (1974), strategi pembelajaran dibagi atas:
·
Strategi Exposition dan Strategi Discovery Learning
·
Strategi Groups dan Individual Learning.
Terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini
tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran
yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah
penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh
kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian,
maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru.
Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai
pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai
obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru.Metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik)
secara massal, seperti ceramah atau seminar.Selain itu, pembelajaran cenderung
lebih bersifattekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi
dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya
aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta
didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat
dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai
untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme
yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi
lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok
(kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role
playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi.Peran guru hanya
sebagai fasilitator, motivator dan guider.Sebagai
fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang
kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk
mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan
belajar.Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan
dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang
menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam
penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi
atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran
teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara
individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk
belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih
cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan
dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai
dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan
strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan
keunggulannya tersendiri.Pertimbangan pemilihan strategi pembelajaran.
Pembelajaran pada dasarnya proses penambahan informasi dan kemampuan baru. Ini
sangat penting dipahami sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana
cara mencapainya. Komponen strategi pembelajarn yang berbeda memiliki pengaruh
yang berbeda dan konsisten pada hasil pembelajarannya. Kondisi pembelajaran
yang berbeda umpamanya, karakteristik isi bidang studi dengan karakteristik
siswa bis memiliki pengaruh yang konsisten pada hasil pelajaran.
Berikut ini bebrapa pertimbangan yang digunakan sebagai pegangan untuk
memilih strategi pembelajaran dalam pengembangan kurikulum:
a.
Apakah
tujuan itu bersifat kognitif, afektif atau psikomotor?
b.
Apakah
tujuan banyak memrlukan reinforcement atau ulangan?
c.
Apakah
diperlukan partisipasi aktif dari siswa, secara individual, kelompok kecil,
ataukelompok besar?
d.
Apakah
diperlukan ketrampilan mengenai proses penelitian ilmiah?
e.
Apakah
tersedia atau harus disediakan sumber-sumber pembelajaran?
f.
Apakah
strategi pembelajaran itu sesuai dengan asas kurikulum dan misi
lembagatersebut?
g.
Apakah
strategi pembelajaran itu cukup menguntungkan dari segi waktu, biaya, dan usaha yang diperlukan?
h.
Apakah diperlukan lebih dari satu strategi
untuk mencapai tujuan itu?
i.
Apakah
strategi sudah sesuai dengan gaya belajar siswa?
Menurut T. Rakjoni strategi pembelajaran merupakan pola dan
urutan umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pegembangan kurikulum meliputi empat
langkah, yaitu merumuskan tujuan pembelajaran (instructional objective),menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar( selection of learning experiences),
mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar (organization of learning experiences), dan mengevaluasi (evaluating).
Agar
usaha pengembangan kurikulum di sekolah dapat berhasil baik, maka perlu
diperhatikan langkah-langkah pengembangan kurikulum di sekolah. Langkah-langkah
itu mencakup melakukan penilaian umum tentang sekolah, seperti: dalam hal apa
sekolah itu lebih baik atau lebih rendah mutunya daripada sekolah lain;
kesenjangan apa yang terjadi antara kenyataan dengan apa yang diharapkan
berbagai pihak; serta sumber-sumber apa yang tersedia atau tidak tersedia.
Kalau kita rinci dapat kita sajikan sebagai berikut :

Penjelasan:
a. Selidiki
berbagai kebutuhan sekolah, antara lain kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan
kebutuhan akan perubahan dan perbaikan.
b. Mengidentifikasi
masalah serta merumuskannya, yang timbul berdasarkan studi tentang berbagai
kebutuhan yang tersebut di atas, lalu memilih salah satu yang dianggap paling
mendesak diatasi.
c. Mengajukan
saran perbaikan, yang dapat didiskusikan bersama, apakah sesuai dengan tuntutan
kurikuium yang berlaku, menilai maknanya bagi pengembangan sekolah, dan
menjelaskan makna serta implikasinya.
d. Menyiapkan
desain perencanaan yang mencakup tujuan, cara mengevaluasi, menentukan bahan
pelajaran, metode penyampaian, percobaan, penilaian, balikan, perbaikan,
pelaksanaan, dan seterusnya.
e. Memilih
anggota panitia, sedapat mungkin sesuai dengan kompetensi masingmasing.
f. Mengawasi
pekerjaan panitia, biasanya oleh kepala sekolah.
g. Melaksanakan
hasil kerja panitia oleh guru dalam kelas. Karena pekerjaan ini tidak mudah,
kepala sekolah hendaknya senantiasa menunjukkan penghargaannya terhadap
pekerjaan semua pihak yang terlibat dalam usaha pengembangan kurikulum.
h. Menerapkan
cara-cara evaluasi, apakah yang direncanakan itu dapat direalisasikan, karena
apa yang indah di atas kertas belum tentu dapat diwujudkan.
i.
Memantapkan perbaikan, bila ternyata
usaha itu berhasil baik dan dijadikan pedoman selanjutnya.
Pada taraf permulaan
hendaknya diambil suatu proyek yang sederhana, yang memungkinkan untuk
dapat dilaksanakan dengan baik. Ketidakberhasilan akan menimbulkan kekecewaan
dan keengganan untuk mengadakan pengembangan di masa mendatang. Jadi, jangan
didesak melakukannya dengan tergesa-gesa. Ada pengembangan kurikulum yang
fundamental yang memakan waktu puluhan tahun. Perubahan kurikulum senantiasa
melibatkan perubahan manusia yang melaksanakannya. Agar kurikulum berubah, maka
guru sendiri harus berubah dan didorong untuk berubah.
4.
Evaluasi
Kurikulum
Evaluasi dan kurikulum merupakan dua
disiplin yang memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan
kurikulum bersifat organis, dan prosesnya secara evolusioner. Evaluasi
merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus, untuk mengetahui
proses dan hasil pelaksanaan system pendidikan dalam mencapai tujuan yang
ditentukan.
Menurut Micheal Scriven dalam buku
Nurgiantoro, mengemukakan bahwa proses penilaian terdiri dari tiga komponen,
yaitu pengumpulan informasi, pembuatan pertimbangan, dan pembuatan keputusan. Ia mengartikan
evaluasi sebagai “proses memperoleh informasi, mempergunakannya sebagai bahan
pembuatan pertimbangan, dan selanjutnya sebagai dasar pembuatan keputusan”.
Tyler dalam buku Hamalik, berpendapat bahwa evaluasi kurikulum pada dasarnya
adalah suatu proses untuk mengecek keberlakuan kurikulum yang harus
diberlakukan ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut:
- Evaluasi tehadap tujuan pembelajaran.
- Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum atau proses pembelajaran yang meliputi metode, media dan evaluasi pembelajaran.
- Evaluasi terhadap evektifitas, baik evektifitas waktu, tenaga dan biaya.
- Evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai.
Kegiatan
evaluasi kebutuhan dan kelayakan terhadap kurikulum adalah suatu keharusan yang
esensial dalam rangka pengembangan program kegiatan pendidikan pada umumnya dan
peningkatan kualitas siswa pada khususnya. Hal ini terkait dengan pengembangan
sumber daya manusia sebagai unsur utama pelaksanaan dan keberhasilan program
pendidikan yang pada gilirannya membutuhkan pengelola dan pelaksana yang mampu
menjalankan kegiatan pendidikan yang lebih berdaya.
Evaluasi kurikulum sebagai usaha
sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan
sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks
tertentu. Evaluasi kurikulum dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau
masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran
yang ada dalam kurikulum tersebut.
Secara sederhana, dapat disamakan
dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang
sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian
terletak pada tujuan. Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan
menyajikan data untuk bahan penetuan keputusan mengenai kurikulum apakah
akan ada revisi atau diganti. Sedangkan penelitian memiliki tujuan yang lebih
luas dari evaluasi yaitu mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk
menguji teori atau membuat teori baru.
Evaluasi dan Kurikulum merupakan dua
disiplin yang memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan
kurikulum bersifat organis, dan prosesnya secara evolusioner. Evaluasi
merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus, untuk mengetahui
proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang
ditentukan. Dimana semua tidak terlepas dari adanya berbagai criteria, mulai
dari yang bersifat formal.
Evaluasi kurikulum memegang peran
penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun
dalam pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum
dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang
kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan
dan pegembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum
juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana
pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih
bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian,
serta fasilitas pendidikan lainnya.
Salah satu kesulitan yang dihadapi
dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah hasil
evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil keputusan adalah sama.
Masalah yang timbul adalah apakah hasil evaluasi tersebut dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Jawabannya belum tentu, karena suatu informasi mungkin lebih
bermanfaat bagi pihak tertentu tetapi kurang bermanfaat bagi pihak yang lain.
Kesatuan penilaian hanya dapat
dicapai melalui suatu konsesus. Konsesus tersebut berupa kerangka kerja
penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi tes post
tes. Secara umum, langkah-langkah pokok evaluasi pendidikan meliputi tiga
kegiatan utama yaitu persiapan, pelaksanaan dan pengolahan hasil.
Peran evaluasi kurikulum dalam pendidikan berkenaan
dengan tiga hal, yaitu sebagai berikut.
- Konsep sebagai moral judgement
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai.
Hasil dari suatu nilai berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan
selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian yaitu:
1)
Evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan
skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai.
2)
Evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis yang
berdasarkan kriteria-kriteria tersebut suatu hasil dapat dinilai.
3)
Evaluasi dan penentuan keputusan
Beberapa
hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan. Pihak
pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pendidikan dan kurikulum adalah guru,
murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembangan kurikulum dan
sebagainya.
- Evaluasi dan konsesus nilai
Kesatuan
penilaian dapat dicapai melalui suatu konsensus. Kosensus tersebut berupa
kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran
prestasi belajar behavioral, analisis statistik dari prestasi tes dan post tes.
Ada dua dua kriteria dalam penilaian kurikulum:
- Kriteria berdasarkan tujuan yang telah ditentukan atau sering disebut kriteria patokan
- Kriteria berdasarkan norma-norma atau standar yang ingin dicapai senagaimana adanya.
Evaluasi
kurikulum dilakukan oleh evaluator yang telah memenuhi syarat atau kualifikasi.
Tidak semua orang boleh menjadi evaluator, kecuali orang-orang yang memang
berkompeten di bidang kurikulum. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah:
a)
Orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi
baik secara teoritis maupun keterampilan praktis.
b)
Mempunyai kecermatan yang dapat melihat celah-celah
dan detail serta bagian-bagian kurikulum.
c)
Bersikap obyektif dan tidak mudah terpengaruh oleh
keinginan dan kepentingan pribadi sehingga dapat mengambil data dan kesimpulan
yang sesuai dengan ketentuan.
d)
Sabar, tekun dan tidak gegabah dalam menjalankan tugas
mulai perencanaan kegiatan, menyusun instrument, mengumpulkan data dan menyusun
laporan.
e)
Hati-hati dalam menjalankan pekerjaan evaluasi dan
bertanggung jawab terhadap segala tugas dan resiko kesalahan yang diperbuat
Evaluator
hendaknya terlebih dahulu mempelajari, menelaah dan mendalami seluruh aspek
kurikulum yang akan dievaluasi, agar kesimpulan yang diambil tepat dan tidak
merugikan pihak tertentu. Evaluator sering menghadapi delima pertimbangan etis,
dalam menjalankan tugasnya seperti yang disinyalir Ronal G. Schnee dalam buku
Muhammad Zaini yang menyebutkan beberapa hal antara lain:
a. Otonomi yang
berkaitan dengan pelaksanaan program kurikulum, misalnya kepala sekolah dan
guru. Mereka tentu akan menyanjung program kurikulum ketika diminta untuk
mengevaluasi.
b. Hubungan
dengan klien, artinya evaluator ketika menjalankan tugasnya harus bekerja sama
dengan klien atau pelaksana kurikulum di suatu sekolah.
c. Evaluator
dalam melaksanan tugasnya tidak boleh mengabaikan fakta politik dan konteks
sosial, sehingga hasil kerja evaluasi kurikulum itu dapat bermafaat.
d. Evaluator
dalam dalam melaksanakan evaluasi tidak mungkin melepaskan diri dari
nilai-nilai atau norma yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.
e. Evaluator
hendaknya memilih dan mempertimbangkan rancangan dan metodologi, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
f. Memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk menelaah kembali (review) terhadap rancangan
evaluasi, guna mengurangi adanya biaya dan pemborosan.
g. Evaluator
hendaknya dengan jujur mencantumkan penjelasan tentang keterbatasan dan
hambatan selama proses evaluasi berlangsung.
h. Evaluator
perlu menyertakan hasil evaluasi negativ agar data yang dilaporkan bermanfaat
bagi peningkatan program berikutnya.
i.
Penyebar luasan hasil evaluasi, karena tujuan evaluasi
adalah untuk mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut program.
j.
Evaluasi tidak boleh melanggar hal-hal yang dilindungi
sesuai dengan peraturan yang ada.
k. Pelaksanaan
program boleh menolak evaluator dengan alasan tertentu.
Macam-macam model evaluasi yang
digunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses
pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat
dengan tingkah laku individu. Evaluasi yang berorentasi tujuan berkaitan erat
dengan materi dan tingkah laku individu. Evaluasi yang menekankan tujuan
berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi
kurikulumAda beberapa model dalam evaluasi kurikulum, yaitu Evaluasi kurikulum model penelitian (research evaluation model), model
evaluasi kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal/objective oriented evaluation model), model evaluasi kurikulum
yang lepas dari tujuan (goal free
evaluation model), model
campuran multivariasi, model CIPP (Contex,
Input, Procces, and Product),model Ten Brink, model Pendekatan Proses, model Evaluasi
Kuantitatif, model EkonomiMikro dan model Evaluasi Kualitatif.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda